Tulang dan Saraf: Apakah Berhubungan?

          Manusia dewasa memiliki 206 tulang dari ujung kepala hingga ujung kedua kaki. Organ ini membentuk kerangka tubuh, melindungi organ yang dilingkupinya, serta bersama sendi menyokong kemampuan tubuh untuk bergerak. Selain itu, tulang juga berisi sumsum tulang yang berperan dalam pembentukan sel darah dan tempat penyimpanan mineral tubuh.1 Kelainan pada tulang dapat menyebabkan gangguan postur tubuh dan gerak yang berujung pada kehilangan kemandirian seseorang. Pergeseran tulang juga dapat mencederai struktur tubuh di sekitarnya.

            Seperti tulang, saraf juga berada dari ujung kepala hingga ujung kedua kaki. Saraf terdiri atas sistem saraf pusat (otak, saraf tulang belakang) dan sistem saraf tepi ke ujung setiap organ. Saraf berperan dalam mendeteksi perubahan lingkungan dan memberikan respons, salah satunya adalah dengan menggerakkan tubuh. Kerja sama tulang dan saraf yang baik dapat dilihat dari fungsi pergerakan tubuh yang baik.2

          Dengan semakin berkembangnya teknologi, hubungan tulang dan otak ternyata lebih dari pergerakan semata. Tulang yang kuat memerlukan latihan beban dan otot yang baik, dan pergerakan tulang memerlukan perintah bergerak dari saraf. Otak yang berkembang baik juga memerlukan latihan, salah satunya latihan bergerak/motorik yang dibantu tulang. Tulang yang retak salah satunya memerlukan saraf yang baik untuk mendukung penyembuhannya, sedangkan kondisi penurunan fungsi saraf seperti stroke atau demensia dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kerentanan jatuh dan patah tulang.2–4 Dengan demikian, walaupun lokasi keduanya terkesan jauh, tulang dan saraf saling bekerja sama dalam optimalisasi fungsi satu sama lain.5

Patah Tulang Tidak Normal (Fraktur Fragilitas): Apa Itu?

         Patah tulang (fraktur) umumnya terjadi akibat adanya “serangan” dari luar tubuh yang melebihi kemampuan tulang untuk mempertahankan bentuknya. “Serangan” tersebut di antaranya adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan, dan sebagainya. Namun, ada kondisi patah tulang yang terjadi akibat “serangan” yang ringan atau kurang wajar, seperti terpeleset, terjatuh dari tempat tidur yang tidak tinggi, dan sebagainya. Kondisi tersebut dikenal sebagai fraktur fragilitas.6

         Fraktur fragilitas paling sering terjadi akibat osteoporosis. Osteoporosis adalah kondisi penurunan kepadatan tulang akibat lebih cepatnya kerusakan tulang dibandingkan pertumbuhan tulang.4 Tulang manusia secara umum bertumbuh hingga usia 25 tahun, lalu bertahan hingga usia 40 tahun, dan mulai menurun kepadatannya seiring bertambahnya usia. Walaupun tulang terkesan kuat, terdapat dua sel dalam tulang yang saling berinteraksi, yakni sel pembentuk tulang (osteoblas) dan sel pemecah tulang (osteoklas). Fungsi keduanya perlu seimbang agar tulang yang terbentuk tidak terlalu berlebihan (contoh: penonjolan tulang akibat pengapuran) ataupun kepadatan tulang terlalu berkurang, yakni osteoporosis (Gambar 1).1

         Banyak faktor yang memengaruhi osteoporosis selain usia tua, yakni kurangnya aktivitas fisik, kurangnya nutrisi seperti kalsium atau vitamin D ataupun gangguan pemrosesannya, penurunan hormon estrogen atau testosteron, tingginya stres, penyakit penyerta lain (diabetes, kegemukan, kolesterol tinggi), tingginya proses radang, gangguan tidur, dan sebagainya. Penggunaan zat yang mengandung steroid, alkohol, rokok, kerja shift, penyakit autoimun, keganasan, atau kelainan tulang dari lahir juga menurunkan kepadatan tulang (Gambar 1).3,4,7 Faktor tersebut tidak hanya ditemukan pada penuaan, tetapi telah terjadi sejak awal dan mungkin berpuluh tahun sebelumnya, tetapi seringkali tidak bergejala hingga terdapat “serangan” faktor eksternal yang melampaui kemampuan tulang untuk bertahan. Walau lebih jarang, beberapa fraktur juga dapat bersifat cepat. Tulang yang sering dilaporkan mengalami osteoporosis adalah tulang panggul, tulang tungkai (paha), tulang belakang, dan tulang lengan (lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan).6

 

 

Gambar 1. Kerapuhan tulang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti (1) kurangnya aktivitas fisik terkait beban; (2) kurangnya nutrisi seperti vitamin D atau kalsium; (3) penurunan hormon estrogen atau testosteron, atau peningkatan steroid; (4) penyakit penyerta seperti diabetes dan kolesterol tinggi; (5) stres atau gangguan saraf lain; (6) peningkatan risiko jatuh pada gangguan fungsi otak; (7) radang kronik; (8) gangguan irama harian seperti siklus tidur bangun.3,7

 

          Karena sifatnya yang tidak bergejala dan “diam-diam,” angka kejadian osteoporosis diduga lebih tinggi daripada yang telah diketahui. Seringkali seseorang baru mengetahui mengalami osteoporosis setelah fraktur fragilitas dan menjalani pemeriksaan kepadatan tulang setelahnya. Hal tersebut tentu telah terlambat karena fraktur telah menyebabkan gangguan gerak, nyeri gerak, hingga gangguan buang air dan kehilangan kemandirian.6,8 Tulang yang patah tidak dapat digerakkan karena akan semakin mencederai struktur sekitar, sedangkan tulang yang tidak bergerak juga memperlambat penyembuhan sehingga akan menjadi lingkaran setan kehilangan fungsi tubuh. Hal tersebut dapat berimbas pada komplikasi medis seperti luka tekan, peningkatan kerentanan infeksi paru, depresi,5 serta komplikasi nonmedis seperti gangguan perekonomian keluarga hingga depresi pada keluarga yang merawat. Gejala osteoporosis sebelum fraktur antara lain pemendekan tubuh, nyeri tulang terkait, serta gangguan gerak sesuai tulang yang terlibat.9 Gejala ini umumnya sangat menyerupai penyebab lain yang lebih sering sehingga osteoporosis seringkali tidak terdeteksi.

 

Cedera Saraf sebagai Korban Fraktur Fragilitas

        Setelah fraktur fragilitas, cedera saraf dapat terjadi langsung ataupun jangka panjang. Cedera saraf yang langsung terjadi biasanya disebabkan oleh penekanan fraktur. Derajat beratnya kerusakan saraf dipengaruhi oleh derajat beratnya fraktur dan pergeseran tulang terkait. Fraktur pada tulang panggul dan tulang paha menyebabkan penekanan saraf terkait dan menyebabkan nyeri gerak hingga baal dan kelemahan tungkai terkait.6

        Selain nyeri lokal yang dipicu pergerakan, fraktur pada tulang belakang juga dapat menekan saraf tulang belakang sehingga menyebabkan baal, kelemahan kedua tungkai atau hingga kedua tangan, hingga sulit buang air kecil, sulit buang air besar, dan gangguan ereksi pada laki-laki.6,8 Gangguan saraf tulang belakang dan saraf tepi ini telah sering dilaporkan pascafraktur (risiko odds 1,7 kali) dan terjadi 23,513,2 bulan pasaca kejadian.10

        Fraktur fragilitas juga dapat menyebabkan cedera saraf jangka panjang. Terdapat beberapa laporan bahwa fraktur fragilitas dapat menjadi salah satu pendukung kejadian pikun (demensia) di masa depan (Gambar 2).3,5,11 Penyembuhan fraktur memerlukan proses radang (TNF, IL-6) serta peningkatan radikal bebas radang yang dapat mendukung proses kejadian penyakit Alzheimer.5,11 Selain itu, fraktur juga menyebabkan kehilangan kemampuan gerak sehingga otak kurang terlatih. Koreksi fraktur kadangkala juga menimbulkan gangguan kesadaran (delirium) yang dapat mendukung kejadian penyakit Alzheimer.3,11 Angka kejadian demensia dilaporkan sebesar 60% paskafraktur pelvis, 47% paskafraktur tulang belakang, 35% paskafraktur tungkai, dan 29% paskafraktur lengan.11

        Fraktur fragilitas dilaporkan pula berkaitan dengan penyakit Parkinson,10 stroke, dan depresi. Kondisi berbaring tanpa gerak dapat memicu peningkatan kekentalan darah yang berujung pada peningkatan risiko stroke. Kondisi jarang berupa emboli lemak dari fraktur juga dapat menjadi faktor risiko stroke. Depresi pascafraktur terjadi bukan hanya akibat kehilangan kemampuan gerak, tetapi juga akibat perubahan zat, radang, dan gangguan aksis otak dan kelenjar adrenal yang menghasilkan kortisol berlebihan.5

 

 

Gambar 2. Cedera saraf pasca fraktur fragilitas. (A) Fraktur berisiko menekan saraf tulang belakang dan saraf tepi.8 (B) Osteoporosis dan penyakit Alzheimer memiliki beberapa faktor risiko dan mekanisme yang serupa. Penyakit Alzheimer menyebabkan gangguan fungsi luhur yang meningkatkan risiko jatuh, sedangkan patah tulang akibat osteoporosis diteliti ternyata dapat memicu radang saraf jangka panjang yang akhirnya mendukung penyakit Alzheimer.11

 

Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah cedera saraf dan fraktur fragilitas?

          Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena kerapuhan tulang seringkali tanpa gejala, deteksi awal osteoporosis adalah hal yang direkomendasikan U.S. Preventive Services Task Force untuk dewasa perempuan berusia lebih dari 65 tahun atau kurang dari 65 tahun tetapi telah menopause dan memiliki faktor risiko osteoporosis.8 Aktivitas fisik yang menggunakan beban sesuai kemampuan, menjaga asupan nutrisi tulang, pola tidur sehat, manajemen stres, cegah atau kontrol diabetes, kegemukan, kolesterol tinggi, serta penyakit penyerta seperti penyakit autoimun adalah hal yang kadang terkesan sederhana, tetapi bermanfaat untuk jangka panjang. Bila terdeteksi osteoporosis, konsultasi dengan dokter spesialis tulang untuk pemeriksaan lanjutan hingga kemungkinan penggunaan obat antiosteoporosis. Konsultasi multidisiplin dapat dipertimbangkan pula untuk mengembalikan, atau setidaknya mempertahankan, kepadatan tulang.12

          Pada kasus di mana fraktur telah terjadi, konsultasikan kepada spesialis tulang terkait perlu tidaknya koreksi posisi tulang. Keputusan waktu untuk memulai pergerakan tubuh menjadi kunci penting, mengingat terlalu cepat bergerak semakin memicu kerusakan organ sekitar fraktur, sedangkan terlalu lambat bergerak memicu berbagai efek samping hingga jangka panjang.12

          Dari segi cedera saraf, nyeri diatasi dengan pemberian antinyeri yang cukup. Namun, perlu diingat bahwa penyebab nyeri, yakni koreksi fraktur, perlu dipertimbangkan. Kerja sama antarspesialis menjadi penting untuk pertimbangan apakah dapat dioperasi atau terlalu berisiko dioperasi sehingga tindakan antinyeri dan rehabilitasi yang diutamakan.12

 

Kesimpulan

          Tulang dan saraf adalah dua organ yang saling bekerja sama dalam membantu pergerakan tubuh. Fraktur fragilitas, seringkali akibat osteoporosis, dapat memicu kerusakan tulang dan berujung pada kerusakan saraf baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, komplikasi nonsaraf seperti luka tekan, infeksi paru, hingga gangguan perekonomian dan depresi, sangat mungkin terjadi. Pengetahuan, peningkatan kesadaran, dan kerja sama seluruh pihak hingga pasien dan keluarga diperlukan untuk pencegahan, deteksi awal, hingga penanganan yang optimal.

 

Daftar Pustaka

1.      Su N, Yang J, Xie Y, Du X, Chen H, Zhou H, et al. Bone function, dysfunction and its role in diseases including critical illness. Int J Biol Sci. 2019;15(4):776–87.

2.      Tomlinson RE, Christiansen BA, Giannone AA, Genetos DC. The Role of Nerves in Skeletal Development, Adaptation, and Aging. Front Endocrinol (Lausanne). 2020;11(September).

3.      Smit AE, Meijer OC, Winter EM. The multi-faceted nature of age-associated osteoporosis. Bone Rep [Internet]. 2024;20(March):101750. Available from: https://doi.org/10.1016/j.bonr.2024.101750

4.      Lewiecki EM. Evaluating Patients for Secondary Causes of Osteoporosis. Curr Osteoporos Rep. 2022;20(1):1–12.

5.       Otto E, Knapstein PR, Jahn D, Appelt J, Frosch KH, Tsitsilonis S, et al. Crosstalk of brain and bone—clinical observations and their molecular bases. Int J Mol Sci. 2020;21(14):1–40.

6.       Varacallo MA, Fox EJ. Osteoporosis and its complications. Medical Clinics of North America [Internet]. 2014;98(4):817–31. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.mcna.2014.03.007

7.       Rani S, Bandyopadhyay-Ghosh S, Ghosh SB, Liu G. Advances in sensing technologies for monitoring of bone health. Biosensors (Basel). 2020;10(4):1–21.

8.       Longo DL. Acute spinal cord compression. N Engl J Med. 2017;3716(14):1358–69.

9.       Ansari MD, Majid H, Khan A, Sultana Y. Clinical frontiers of metabolic bone disorders: a comprehensive review. Metabolism and Target Organ Damage. 2024;4(1).

10.    Lee H Il, Yoon S, Kim JH, Ahn W, Lee S. Network analysis of osteoporosis provides a global view of associated comorbidities and their temporal relationships. Arch Osteoporos [Internet]. 2023;18(1). Available from: https://doi.org/10.1007/s11657-023-01290-2

11.     Wang HS, Karnik SJ, Margetts TJ, Plotkin LI, Movila A, Fehrenbacher JC, et al. Mind Gaps and Bone Snaps: Exploring the Connection Between Alzheimer’s Disease and Osteoporosis. Curr Osteoporos Rep [Internet]. 2024;22(5):483–94. Available from: https://doi.org/10.1007/s11914-023-00851-1

12.     Jang HD, Kim EH, Lee JC, Choi SW, Kim HS, Cha JS, et al. Management of Osteoporotic Vertebral Fracture: Review Update 2022. Asian Spine J. 2022;16(6):934–46.

 

Views : 326

Share :