Dr. dr. Kanadi Sumapraja, Sp.OG, SubSp FER, MSc
dr. Raja Yasmin Khalilah
Divisi Imuno-endokrinologi Reproduksi
Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI-RSCM
Introduksi
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mendefinisikan menopause alami sebagai kondisi ketika seorang perempuan tidak mengalami menstruasi selama 12 bulan berturut-turut tanpa penyebab lain. Usia rata-rata menopause di negara maju adalah 51 tahun dan 48 tahun di negara berkembang.1 Meningkatnya derajat kesehatan pada umumnya memicu pertambahan populasi lanjut usia (lansia), dan berdampak pada peningkatan jumlah perempuan menopause. Kondisi yang diakibatkan oleh adanya menopause memicu perhatian global terkait dengan isu-isu kesehatan di kalangan perempuan pasca-menopause.2
Menopause adalah sebuah kondisi fisiologis alami yang terjadi karena penurunan fungsi ovarium akibat penurunan cadangan ovarium. Cadangan ovarium menurun seiring bertambahnya usia. Akibat turunnya cadangan ovarium, maka sel telur (folikel) tidak lagi dapat berkembang, ditandai dengan menurunnya kadar hormon estrogen. Rendahnya kadar hormon estrogen dapat memicu munculnya gejala gejolak panas (hot flashes), keringat malam, kekeringan vagina, dispareunia (nyeri saat berhubungan seksual), gangguan tidur, perubahan suasana hati, dan osteoporosis. Osteoporosis adalah kondisi yang diakibatkan oleh karena berkurangnya kepadatan mineral tulang (Bone mineral density / BMD) sehinggan terjadi penurunan kualitas tulang yang dapat memicu keropos hingga patah tulang.2
Kondisi osteoporosis juga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur mikro pada jaringan tulang, yang berujung pada melemahnya kekuatan tulang, meningkatnya kerapuhan, serta risiko patah tulang yang lebih tinggi. BMD dapat diukur melalui pemindaian tulang menggunakan metode dual energy X-ray absorptiometry (DXA). Menurut WHO, klasifikasi oteoporosis berdasarkan nilai BMD dilaporkan dalam bentuk T-score, yaitu perbandingan rata-rata antara densitas mineral tulang seseorang dengan seorang perempuan usia muda yang sehat (Tabel 1).3, 4
Pengenalan dini osteoporosis dan penilaian risiko patah tulang sangat penting untuk dilakukan. Karena modalitas terapi untuk osteoporosis yang tersedia dapat memperlambat atau bahkan membalikkan perkembangan osteoporosis. Artikel ini akan membahas diagnosis osteoporosis pada perempuan pasca-menopause.
Tabel 1. Definisi WHO untuk Osteoporosis4 | |
BMD Normal | T-score ≥ -1 |
Osteopenia atau rendah massa tulang | T-score -1 sampai dengan -2,5 |
Osteoporosis | T-score ≤ -2,5 |
Diagnosis
Diagnosis klinis osteoporosis pada perempuan pasca-menopause dapat dilakukan dengan mengidentifikasi hal berikut:
a. Keluhan nyeri pada tulang – Osteoporosis sering tidak menunjukkan gejala klinis sampai terjadi patah tulang, sehingga kondisi ini sering kali tidak dikenali, dan orang yang mengalaminya kurang mendapatkan perawatan yang diperlukan.5-8 Fraktur pada tulang belakang (vertebra) merupakan manifestasi klinis osteoporosis yang paling umum. Fraktur vertebra mungkin tidak menimbulkan gejala atau hanya menyebabkan nyeri punggung akut yang biasanya sembuh dengan sendirinya.9, 10 Fraktur vertebra juga sering dikaitkan dengan penurunan tinggi badan secara bertahap, yang menyebabkan peningkatan kelengkungan punggung atas (kifosis toraks) dan nyeri punggung. Sementara itu, fraktur non-vertebral atau di tulang perifer biasanya disertai gejala patah tulang yang lebih jelas setelah jatuh, meskipun fraktur stres dapat menyebabkan nyeri otot dan tulang di sekitar area tersebut.3
b. Fraktur kerapuhan (fragility fracture) — Diagnosis klinis osteoporosis dapat ditegakkan jika terjadi fraktur akibat kerapuhan tulang, terutama pada tulang belakang, pinggul, radius distal, humerus, tulang rusuk, dan panggul, tanpa perlu pengukuran BMD. Fraktur kerapuhan adalah fraktur yang terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan. Fraktur ini disebabkan oleh gaya mekanis yang biasanya tidak cukup kuat untuk menyebabkan patah tulang. Penurunan kepadatan tulang adalah faktor risiko utama terjadinya fraktur kerapuhan.11
Fraktur kerapuhan paling sering terjadi di tulang belakang (fraktur kompresi vertebra), pinggul, dan radius distal. Selain itu, fraktur ini juga dapat terjadi pada humerus, tulang rusuk, dan panggul. Namun, beberapa bagian kerangka, seperti tengkorak, tulang belakang leher, tangan, kaki, dan pergelangan kaki, tidak terkait dengan fraktur kerapuhan.11
c. BMD – Penilaian BMD dengan DXA merupakan tes standar untuk mendiagnosis osteoporosis, menurut klasifikasi WHO (tabel 1). Skor T ≤-2,5 (yaitu, setidaknya 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata untuk populasi referensi dewasa muda) konsisten dengan diagnosis osteoporosis.12
d. Risiko fraktur – Diagnosis klinis osteoporosis juga dapat ditegakkan berdasarkan perkiraan risiko fraktur yang tinggi. Alat Fracture Risk Assessment Tool (FRAX), yang dikembangkan oleh WHO, sering digunakan untuk memperkirakan risiko fraktur dan dapat diakses melalui website (www.shef.ac.uk/FRAX/tool.jsp). FRAX menghitung risiko dengan mengombinasikan faktor-faktor risiko klinis dan hasil pengukuran BMD pada leher femur. Terdapat 12 faktor yang perlu diisi, antara lain: BMD leher femur, konsumsi alkohol, osteoporosis sekunder, artritis reumatoid, penggunaan steroid, riwayat merokok, riwayat fraktur panggul pada orang tua, riwayat fraktur sebelumnya, tinggi badan (cm), berat badan (kg), usia, dan jenis kelamin.13
Alur diagnosis klinis osteoporosis pada perempuan pasca-menopause adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Alur diagnosis klinis osteoporosis pada perempuan pasca-menopause.13
Skrining Faktor Risiko
Osteoporosis sering kali tidak menunjukkan gejala hingga terjadi fraktur, sehingga penting untuk mengidentifikasi faktor risiko pada perempuan pasca-menopause.14
Berikut adalah faktor risiko utama osteoporosis menurut WHO:14
a. Usia – Bertambahnya usia adalah faktor risiko paling signifikan untuk osteoporosis. Tulang cenderung kehilangan kepadatannya seiring bertambahnya usia, terutama pada perempuan setelah menopause.
b. Indeks Massa Tubuh (IMT) Rendah – IMT yang rendah merupakan faktor risiko penting untuk patah tulang pinggul.
c. Riwayat Patah Tulang Sebelumnya – Perempuan dengan riwayat patah tulang sebelumnya memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami patah tulang lebih lanjut, terutama patah tulang belakang.
d. Riwayat Patah Tulang Pinggul pada Orang Tua – Jika orang tua, terutama ibu, pernah mengalami patah tulang pinggul, risiko anaknya mengalami hal serupa meningkat secara signifikan, sebagian besar tidak bergantung pada BMD.
e. Merokok – Kebiasaan merokok meningkatkan risiko osteoporosis.
f. Penggunaan Glukokortikoid – Pemakaian glukokortikoid dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko patah tulang, tidak hanya karena pengurangan massa tulang, tetapi juga karena faktor risiko lainnya yang tidak tergantung pada BMD.
g. Konsumsi Alkohol – Asupan alkohol berlebih, terutama lebih dari 3 unit per hari, meningkatkan risiko patah tulang, dengan efek bergantung pada jumlah konsumsi.
h. Artritis Reumatoid – Penyakit autoimun seperti artritis reumatoid juga menjadi faktor risiko independen untuk patah tulang, meskipun tidak selalu berkaitan dengan BMD.
i. Faktor Risiko Lain yang Dapat Dimodifikasi – Beberapa faktor risiko osteoporosis dapat dimodifikasi, seperti pola makan, aktivitas fisik, dan paparan sinar matahari. Nutrisi yang mencukupi, termasuk asupan kalsium dan protein, sangat penting dalam menjaga kesehatan tulang. Aktivitas fisik yang teratur membantu memperkuat tulang dan otot, sementara paparan sinar matahari yang cukup mendukung produksi vitamin D, yang penting untuk penyerapan kalsium. Risiko jatuh juga meningkat seiring bertambahnya usia dan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam pencegahan patah tulang.
Kesimpulan
Osteoporosis pada perempuan pasca-menopause adalah masalah kesehatan yang sering kali tidak terdiagnosis hingga terjadi patah tulang akibat kerapuhan. Mengingat dampaknya yang signifikan terhadap kualitas hidup, deteksi dini melalui skrining faktor risiko sangat penting, terutama pada perempuan pasca menopause. Faktor-faktor seperti usia lanjut, IMT rendah, riwayat patah tulang, dan gaya hidup tidak sehat, seperti merokok dan konsumsi alkohol, dapat meningkatkan risiko. Pengukuran BMD dan alat prediksi risiko seperti FRAX sangat membantu dalam menilai risiko fraktur. Pendekatan pencegahan yang melibatkan gaya hidup sehat, asupan nutrisi yang baik, dan pemantauan kesehatan tulang secara berkala dapat membantu menekan risiko dan menjaga kesehatan tulang perempuan pasca-menopause.
Referensi
1. Sapre, S. and R. Thakur, Lifestyle and dietary factors determine age at natural menopause. J Midlife Health, 2014. 5(1): p. 3-5.
2. Ji, M.X. and Q. Yu, Primary osteoporosis in postmenopausal women. Chronic Dis Transl Med, 2015. 1(1): p. 9-13.
3. (RACGP, T.R.A.C.o.G.P., Osteoporosis prevention, diagnosis and management in postmenopausal women and men over 50 years of age. 2024.
4. World Health, O., Assessment of fracture risk and its application to screening for postmenopausal osteoporosis : report of a WHO study group [meeting held in Rome from 22 to 25 June 1992]. 1994, World Health Organization: Geneva.
5. Eisman, J., S. Clapham, and L. Kehoe, Osteoporosis Prevalence and Levels of Treatment in Primary Care: The Australian BoneCare Study*. Journal of Bone and Mineral Research, 2004. 19(12): p. 1969-1975.
6. Langsetmo, L., et al., Repeat Low‐Trauma Fractures Occur Frequently Among Men and Women Who Have Osteopenic BMD1*. Journal of Bone and Mineral Research, 2009. 24(9): p. 1515-1522.
7. Mai, H.T., et al., Two-Thirds of All Fractures Are Not Attributable to Osteoporosis and Advancing Age: Implications for Fracture Prevention. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 2019. 104(8): p. 3514-3520.
8. Siris, E.S., et al., Bone Mineral Density Thresholds for Pharmacological Intervention to Prevent Fractures. Archives of Internal Medicine, 2004. 164(10): p. 1108-1112.
9. Johansson, H., et al., Mild morphometric vertebral fractures predict vertebral fractures but not non-vertebral fractures. Osteoporos Int, 2014. 25(1): p. 235-41.
10. Pongchaiyakul, C., et al., Asymptomatic vertebral deformity as a major risk factor for subsequent fractures and mortality: a long-term prospective study. J Bone Miner Res, 2005. 20(8): p. 1349-55.
11. Bessette, L., et al., The care gap in diagnosis and treatment of women with a fragility fracture. Osteoporos Int, 2008. 19(1): p. 79-86.
12. Indonesia, K.K.R., KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/2171/2023 TENTANG PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA OSTEOPOROSIS. 2023
13. Muharam, R., Panduan Tatalaksana Menopause secara Interdisiplin. 2021.
14. Meeta, et al., Clinical practice guidelines on postmenopausal osteoporosis: An executive summary and recommendations. J Midlife Health, 2013. 4(2): p. 107-26.