PRINSIP PENGGUNAAN DXA PADA DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS

Elysanti Dwi Martadiani

Departemen Radiologi, FK Universitas Udayana-RSUP Prof. dr.I.G.N.G Ngoerah

 

Osteoporosis (pengeroposan tulang) merupakan penyakit skeletal yang bersifat sistemik, ditandai oleh massa tulang yang rendah dan penurunan mikroarsitektural jaringan tulang. Kondisi ini mengarah pada semakin rentannya tulang terhadap trauma minor atau fraktur non traumatik. Sejalan dengan meningkatnya kewaspadaan terhadap efek dari osteoporosis terutama pada populasi lanjut usia, pemeriksaan kepadatan mineral tulang (bone mineral density/BMD) menjadi hal yang penting untuk diketahui. Salah satu pemeriksaan kepadatan mineral tulang (BMD) adalah Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA). Mari kita simak hal-hal menarik terkait prinsip penggunaa DXA pada diagnosis osteoporosis.

 

Apa itu pemeriksaan DXA?

Dual-energy X-ray Absorptiometry (DXA) merupakan pengembangan teknologi sinar-X yang digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang (bone mineral density/ BMD). Secara internasional, pengukuran kepadatan mineral tulang menggunakan DXA diterima sebagai sarana untuk menilai risiko fraktur fragilitas (patah tulang akibat osteoporosis) dan  mengevaluasi efektivitas terapi osteoporosis. Selain itu, DXA juga jadap digunakan untuk  penilaian  komposisi massa tubuh (body mass composition).

 

Apakah  radiasi yang diterima akibat pemeriksaan DXA membahayakan?

Pemeriksaan DXA merupakan pemeriksaan radiologi yang memanfaatkan radiasi pengion berupa sinar-X,  dosisnya sangat kecil dibandingkan jenis pemeriksaan lain yang sama-sama menggunakan radiasi pengion. Dosis radiasi efektif yang diterima pasien pada satu kali pemeriksaan DXA seluruh tubuh adalah < 10 mikroSievert, dimana dosis ini besarnya mirip dengan radiasi alami yang diterima seseorang dalam satu hari pada ketinggian permukaan laut.

Pemeriksaan ini termasuk pemeriksaan radiologi yang sederhana, non-invasif dan cepat, dimana diperlukan sekitar 10-30 menit saja untuk prosedur pemeriksaannya. Seperti pemeriksaan radiografi pada umumnya, pada pemeriksaan DXA, pasien berada dalam posisi khusus (berbaring untuk pemeriksaan BMD di regio tulang belakang dan panggul), lalu dilakukan x-foto. Area rutin yang diperiksa adalah tulang belakang dan tulang paha, jika diperlukan dapat ditambahkan regio tulang pergelangan tangan. Pemeriksaan DXA sebaiknya tidak dilaksanakan dalam jarak yang terlalu dekat dengan pemeriksan kedokteran nuklir, karena radiasi yang dikeluarkan oleh radioisotop dapat mempengaruhi pengukuran BMD yang akurat.

 

Siapa saja yang disarankan menjalani pemeriksaan DXA?

 Pada prinsipnya DXA dilakukan pada individu yang berisiko mengalami osteoporosis, antara lain perempuan yang memasuki masa menopause, individu dengan penurunan tinggi badan sekitar 1,5 inci  (± 4 cm) yang merupakan tanda terjadi fraktur kompresi di tulang belakang, individu yang mengalami fraktur setelah berusia 50 tahun, individu yang mengkonsumsi obat-obatan pemicu osteoporosis misalnya steroid jangka panjang, individu yang mengalami penurunan kadar hormon akibat konsumsi obat-obatan tertentu, serta individu yang mengalami nyeri punggung tanpa sebab jelas.

 

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan DXA?

Setelah pemeriksaan DXA dilakukan, dilakukan analisis terhadap gambar, grafik dan angka yang dihasilkan. Analisis terhadap gambar menggambarkan ketepatan posisi pasien dan kondisi-kondisi terkait kelayakan evaluasi pada tulang belakang, tulang paha atau pergelangan tangan, serta apakah penentuan region of interest (ROI) pengukuran sudah benar.

Hasil pemeriksaan DXA dalam bentuk angka kepadatan mineral tulang (BMD), T-score dan Z-score. Analisis hasil BMD menggunakan T-score berlaku pada perempuan yang telah menopause atau laki-laki berusia 50 tahun atau lebih. Nilai T-score dikelompokkan menjadi tiga kelompok diagnosis yaitu normal, densitas mineral tulang rendah (low bone mineral density), atau osteoporosis.  Sesuai kriteria WHO, hasil BMD termasuk kategori normal apabila nilai T-score  ≥-1, rendah apabila nilai T-score berada pada rentang nilai –2,5 hingga -1 , dan osteoporosis apabila T-score  ≤-2,5. Bagi Perempuan premenopause dan laki-laki yang berusia kurang dari 50 tahun, kriteria WHO untuk T-score tidak dapat diterapkan, namun analisisnya menggunakan Z-score. Individu dengan nilai Z-score ≤-2 akan dikategorikan memiliki densitas tulang yang rendah untuk usianya (low bone density for age).

 

Bagaimana hasil pemeriksaan DXA digunakan untuk memperkirakan risiko fraktur fragilitas?

Risiko fraktur dapat diperkirakan dari hasil pemeriksaan DXA menggunakan model FRAX, yaitu suatu instrumen yang dapat memperkirakan risiko fraktur tulang panggul dalam 10 tahun ke depan. Untuk dapat mendapatkan interpretasi yang berguna secara klinis, penting untuk diketahui riwayat terkait kesehatan dan kebiasaan pasien, yang diperoleh dari  rekam medis, diskusi dengan pasien, ataupun kuisioner yang diisi pasien. Estimasi risiko fraktur umumnya dilakukan menggunakan kalkulator FRAX®, yang berisi beberapa pertanyaan terkait riwayat pasien seperti usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, adanya riwayat fraktur sebelumnya, adanya orangtua yang menderita fraktur tulang paha, riwayat merokok, menggunakan obat-obatan glukokortikoid, riwayat artritis rematik, riwayat osteoporosis sekunder (misalnya diabetes mellitus tipe 1, hipertiroidisme dalam jangka lama, menopause premature sebelum usia 45 tahun, malnutrisi kronis atau sindroma malabsorpsi usus, gagal ginjal kronis), maupun konsumsi alkohol. Kalkulator FRAX® ini dapat diaplikasikan pada pasien berusia 40-90 tahun dan umumnya telah terintegrasi dengan perangkat lunak DXA scanner. Kalkulator FRAX® juga dapat diakses melalui secara online di https:// www.shef.ac.uk/FRAX/tool.aspx.


Penutup

Dual-energy X-ray Absorptiometry merupakan pemeriksaan radiologi yang penting dilakukan pada kelompok individu tertentu untuk mengetahui kepadatan mineral tulang, memperkirakan risiko fraktur fragilitas menggunakan kalkulator FRAX serta mengevaluasi terapi osteoporosis. Pemeriksaan ini aman, non invasif dan relatif cepat. Hasil pemeriksaan DXA berupa nilai kepadatan mineral tulang (BMD), T-score dan Z-score. Dengan T-score dapat ditentukan apakah BMD seseorang termasuk dalam kelompok normal, low bone mineral density atau osteoporosis, sedangkan Z-score membantu mengkalsifikasikan apakah seseorang memiliki densitas tulang yang sesuai usianya atau densitas tulang yang rendah menurut usianya.

 

Referensi :

Haseltine KN,  Chukir T, Smith PJ, Jacob JT, Bilezikian JP, Farooki A. Bone Mineral Density: Clinical Relevance and Quantitative Assessment. Journal of Nuclear Medicine. 2021, 62 (4) 446-454; DOI: https://doi.org/10.2967/jnumed.120.256180

 

Choplin RH, Lenchik L, Wuertzer S. A Practical Approach to Interpretation of Dual-Energy X-ray. Absorptiometry (DXA) for Assessment of Bone Density. Curr Radiol Rep (2014) 2:48 DOI 10.1007/s40134-014-0048-x

 

Sheu A, Diamond T. Bone mineral density: testing for osteoporosis. Aust Prescr. 2016; 39(2): 35–39. DOI: 10.18773/austprescr.2016.020

 

Views : 192

Share :